Siapa
bilang perempuan tak bisa berkeliling dunia dan tetap diperhitungkan meski
berada di belahan dunia manapun? Itulah yang ingin dijawab oleh wanita bernama
Gitanyali Dayinta Ratitia, perempuan Indonesia tulen, berdomisili di Magdeburg
Jerman dan bahkan masih ingin melakukan sesuatu untuk negara asalnya, Indonesia. Mengenalkan pijat tradisional Indonesia ke negara itu pun menjadi salah satu langkah dilakukannya.
Indonesia baginya
tetap menjadi negara yang mampu menyentuh perasaan cinta mendalam. Tak heran
jika saat ia menghirup udara Eropa, dan sehari-hari hidup di sana, pikirannya
tak dapat lepas dari negara asal yang yang tetap menjadi kebanggaannya.
Maka
itu, dorongan untuk tetap menjadi perempuan kuat tak pernah hilang darinya, dan
ia merasakan itulah salah satu cara menunjukkan gengsi negara asalnya di
belahan dunia lain.
Petualangannya
memang awalnya berawal di Asia. Terutama di Singapura, di mana ia sempat
menghabiskan 23 tahun di negara jiran tersebut. Berbagai pekerjaan dilakoninya
yang awalnya hanya untuk memenuhi tuntutan hidup.
![]() |
Gita bersama Septalinda yang juga berdarah Indonesia, dan Natalie Bednar, sahabat Jermannya - Gbr: Septalinda Laschke |
Di
Singapura, ia sempat menjajal toko online hingga membuka job agency. Itu dilakukannya bersama teman-temannya di sana. Tak
hanya itu, dia juga sempat merambah bisnis retail yang bergerak pada penjualan
tas anak-anak. Itu dilakukan dengan cara menitipkannya ke toko-toko dan mal-mal
di Singapura.
“Tapi
saya juga pernah jadi babysitter dan
pernah juga menjadi guru ngaji,” Gita
bercerita tentang perjalanan kariernya. “Saya memerankan banyak tokoh di dalam
hidup saya, dan itu semua saya kerjakan di waktu senggang. Sebab, saya selama
di Singapura itu mempunyai pekerjaan tetap di kantor dan bekerja fulltime dari jam 9.00 hingga jam 18.00.”
Sampai
akhirnya perempuan kelahiran 29 Juli 1971 ini memutuskan pindah ke Jerman, sebuah negara yang tak lagi dapat
disebut tetangga Indonesia. Tak hanya pindah negara, tapi juga telah berpindah
benua, dari Asia ke Eropa. Entah mengikuti namanya, tapi ia betul-betul tak
merasa ciut nyalinya, berada di Eropa.
Saat
sebagian orang menunduk atas reputasi orang-orang di Benua Biru, Gita tetap
menegakkan kepalanya, dan merambah benua tersebut dan menetap di Jerman.
Tapi
dia juga bercerita jika di awal kedatangannya ke sana pun, dia tak membiarkan
semua berjalan tanpa rencana. Ia justru tetap menyiapkan berbagai rencana,
terlepas berbagai kemungkinan di luar perkiraan dapat saja terjadi. Tapi kata
dia, awal kedatangan ke Jerman juga terbantu karena masih memiliki gaji penuh
dari kantornya di Singapura.
“Setelah
tiga bulan, saya langsung mendapatkan pekerjaan lain di perusahaan ekspor
impor,” dia berkisah lebih jauh. “tapi saya hanya bisa bekerja selama tiga
bulan karena lokasi kantor yang terlalu jauh dari kota tempat saya tinggal.”
Bukan
cuma karena jarak. Gita juga mengakui jika persoalan yang sempat menjadi
kendala adalah adanya perasaan berat di hatinya sebagai seorang ibu jika harus
meninggalkan anak-anaknya. “Apalagi saat itu anak saya masih berusia lima
setengah tahun, dan tuntutan pekerjaan sangat menumpuk,” Gita berterus terang.
Di
tengah kegalauan itu, Gita akhirnya berusaha mencari ide karena tak ingin
sepenuhnya menggantungkan diri kepada suami. Dia mengakui jika penghasilan dari
suami acap membuatnya merasa sebagia perempauan lemah.
“Saya
tidak suka menggantungkan diri hanya pada pemberian suami,” Gita menegaskan
prinsipnya. “Menunggu uang belanja dan jatah uang dari suami itu selalu membuat
saya merasa menjadi pribadi yang lemah dan tak bisa menentukan keinginan saya. Lagipula,
itu juga yang membuat saya merasa tak bisa berpikir atau bertindak independen.”
Apa
yang dilakukannya kemudian? Gita teringat pengalamannya saat masih di Singapura
saat sebulan sekali ia mendatangi SPA hanya untuk pijat atau sauna hingga facial dan berbagai keperluan lainnya. “Saat
pindah ke Jerman, saya pun mengecek ongkos pijat atau massage di kota saya di Magdeburg,” dia bercerita lagi. “Harganya
mencapai 50 hingga 60 euro per jam dengan terapis orang Jerman.”
Tak
hanya itu, dia pun mengetahui jika Thai
massage dari Thailand yang lebih terkenal, tarif pijatnya mencapai 35
hingga 45 euro per jam. Maka itu dia menemukan ide dari sana. Alhasil, hal yang
tak disukainya dilakukannya, yakni meminta bantuan kepada suaminya untuk
memberikan uang hanya untuk ke SPA.
Alih-alih
memberikan uang itu, sang suami sempat menunjukkan wajah cemberut dan
mengeluhkan itu terlalu mahal. “Jadi saya bilang ke dia, ya sudah kalau begitu
bikin SPA untuk saya id rumah dan saya akan membuka studio di sana juga,”
katanya kepada suami. “Intinya hanya agar tak perlu mengeluarkan uang banyak
untuk memanjakan diri.”
Dari
alasan yang awalnya sederhana itulah terbetik di pikirannya untuk memolesnya
dengan sentuhan Indonesia. Apalagi dia juga menangkap kesan bahwa dalam urusan massage, Indonesia selama ini kalah
pamor dibandingkan dengan Thailand yang lebih mendunia.
Di
Jerman, katanya, orang-orang Thai bahkan terbilang mendominasi dalam urusan
membuka tempat massage lantaran memiliki pamor dan branding lebih baik dibandingkan
beberapa negara Asia lainnya.
Tapi
pamor Thailand tak membuatnya rendah diri, terlebih setelah melihat inilah
kesempatan untuk lebih mengenalkan massage
a la Indonesia di negara yang sempat terpecah oleh blok Barat dan Timur
tersebut—ia sendiri masuk belahan Jerman Timur.
“Akhirnya
saya menerapkan konsep SPA Indonesia, dan otomatis di Magdeburg, saya menjadi
orang pertama Indonesia yang membuka bisnis ini,” katanya, gembira.
Di
luar dugaan, nama Indonesia juga memberikan tuah kepadanya. Orang-orang Jerman
awal di sekitar tempatnya berdomisili awalnya hanya mengenal pijat khas
Thailand, penasaran dengan massage Indonesia,
sehingga penasaran. “Bagi mereka ini tentu saja baru dan mereka tertarik dengan
sesuatu yang baru. Terlebih ini dibawa oleh orang asli dari Asia, tepatnya
Indonesia.”
![]() |
Lokasi yang didesain dengan corak khas Asia - Gbr: Gita |
Ia
juga sempat bercerita jika target awalnya tak muluk-muluk. Ia hanya menargetkan
mendapatkan di kisaran 450 euro. Terlebih di Jerman pun ada aturan pembatasan
pendapatan dari pekerjaan yang terbilang mini-job. “Setidaknya dari 450 euro
itu, saya rasa cukup untuk diri saya, sekadar untuk shopping dan belanja pribadi lainnya,” dia berterus terang.
Baginya
yang terpenting adalah mengenalkan bagian budaya Indonesia, terutama Bali dan
Jawa yang notabene lebih akrab dengan dirinya dan keluarganya. Sempat kesulitan
meyakinkan orang-orang, karena banyak yang mengira tak ada bedanya pijat
Thailand dengan Indonesia. “Lama-lama mereka akhirnya tahu jika konsep kita ini
beda dengan traditional massage-nya
Thai,” ujarnya lagi.
Lebih
jauh yang membanggakannya adalah, dari aktivitas usaha massage tradisional, masyarakat di Magdeburg pun terbawa penasaran
untuk lebih mengenal Indonesia, terutama budaya yang ada di negara asalnya itu.
“Mereka menjadi lebih tahu tentang negara kita dan nilai tradisional yang kita
miliki,” ceritanya lagi. Maka itu, berlabel Bali
Java SPA-Massage, Gita menunjukkan kelebihan negara asalnya di Graffweg 5, Magdeburg.*